bila dicermati, un itu pakai sistem apa ya? hmm, multiple choice rupanya. jika multiple choice, apakah yang sedang diuji? akumulasi informasi ataukah kemampuan berpikir? akal yang sehat akan langsung menunjuk kepada akumulasi informasi. jika benar akumulasi informasilah yang diujikan di un, maka un sudah jauh menyimpang atau bahkan melawan tujuan pendidikan yang seharusnya. belum lagi jika melihat apa2 yang diujikan, matematika, bahasa? jadi jika mat atau bhsnya nilainya di bawah 4, sekian maka dianggap tidak lulus un. di dalam teori belajar yang yang kini sangat berkembang, ditemukan bahwa sekolah ternyata bermain favoritisme, yang mana hanya murid dengan intelegensia2 tertentu yang bakal berhasil di dalam dunia akademik. padahal ada jenis2 intelegensia2 lain yang dimiliki oleh sebagian besar murid yang lain yang disepelekan oleh sistem pendidikan formal. karena pendidikan formal dijadikan acuan untuk menilai keberhasilan seseorang di zaman modern ini, maka penilaian kepada seseorang ttg bodoh pintar digantung di atas sistem penilaian akademik yang bermain favoritisme ini. nah, un berada di ujung seleksi yang mana 2 jam pengujian tsb dapat menganulir apa2 yang dipelajari, dan apa2 yang sudah dicapai oleh murid2 selama kurang lebih 3 tahun di bangku sekolah. luar biasa juga alat seleksi yang namanya un ini.
apakah ujian ulang merupakan jawaban yang baik untuk katastropik macam demikian? kelihatannya kok tidak. jika diandaikan bencana un ini bagaikan bencana gempa yogya, maka ujian ulang itu bagaikan bantuan yang datang terlambat sebulan ke lokasi yang dilanda gempa. yang benar seharusnya adalah dihapuskannya un. sayang, usulan macam begini bakalan ditolak mentah2. bukankah sebelum un disahkan di dalam peraturan pemerintah sudah ada banyak protes supaya tidak ada un? mengapa pemerintah menolak pendiadaan un? jika hipotesa di paragraf sebelumnya benar adanya, maka jawabnya adalah pemerintah tidak mau lepas kontrol atas dunia pendidikan nasional. jika sampai sistem pendidikan nasional menjadi desentralisasi, maka pemerintah akan kehilangan banyak pegangan atas dunia pendidikan, yang mana adalah kendaraan yang sangat efektif untuk propaganda politik. jika sistem pendidikan nasional menjadi desentralisasi, maka sekolah2 swasta akan memiliki kurikulum2 mereka sendiri sesuai dengan warna keyakinan mereka masing2. now you all know where i'm going. yang jelas pemerintah tidak lagi bisa menekan sekolah2 swasta dengan peraturan pemerintahnya atau dengan undang2nya. implikasinya lagi adalah akan munculnya badan2 akreditasi independen menggantikan badan akreditasi nasional, sehingga tidak ada label sekolah itu disamakan atau diakui lagi, dst dst. yang ada adalah penyesuaian standard antar badan akreditasi yang ujungnya penyesuain standard pendidikan antar sekolah. sebetulnya adalah lebih baik jika ada badan akreditasi independen yang bermunculan di seluruh
hal lain, un menguji kelulusan dan bukan merupakan ujian seleksi untuk masuk suatu institusi pendidikan. dalam kata lain, un menyeleksi siapa2 yang berhak dan tidak berhak keluar dari suatu institusi pendidikan. dan melalui un masing2 institusi pendidikan tidak punya suara secuilpun. jika hasil un menunjukkan murid tidak lulus, maka kalaupun sekolah bilang murid itu top ranking, maka tetap saja murid itu tidak lulus. ini sistem hirarki, yang mana nasional lebih tinggi dari masing2 institusi. kata2 mereka yang adalah petinggi2 nasional lebih penting dari kata2 wilayah,
un seharusnya dihapus. uu sisdiknas juga. sebelum 2 itu disahkan, protes bertebaran di mana2. tetapi pemerintah, yang punya kuasa, tidak bergeming sejengkalpun, maju terus pantang mundur, dan mensahkan dua2nya. dapatkah keputusan pemerintah dianulir? jika pada akhirnya dua2nya tidak bisa dianulir, maka ini hanya mengkonfirmasi kekuasaan pemerintah yang betul2 sangat besar. dan juga mengkonfirmasi bahwa sebenarnya tidak ada reformasi apa2 di
No comments:
Post a Comment