Friday, June 13, 2008

Strangely Real

Aneh tapi nyata. Sejak John Dewey melontarkan konsepnya bahwa pendidikan formal seharusnya mempunyai tujuan memperlengkapi setiap warga negara untuk dapat berfungsi dengan baik di masyarakat, maka pendidikan formal telah menjadi pabrik besar yang memproduksi unit2 tenaga kerja untuk fit in di dalam society's bigger machine. Setiap unit dibentuk sedemikian rupa dengan keunikannya sendiri, tetapi juga dengan bagian besar kesamaan standard produksi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Yang tujuannya akademik memiliki procedural standard sendiri yang berbeda dengan mereka yang bakal menjadi professionals. Lawyers menjalani training secara khusus yang sangat berbeda dengan mereka yang ditraining menjadi medical doctors. Proses spesialisasi ini semakin dijalankan semakin membuat segregasi antar disiplin. Semakin antar disiplin renggang, semakin ada usaha untuk inter-disciplinary collaboration. Lebih jauh, di dalam masing2 disip lin sendiri masih tersedia ruang yang sangat luas untuk spesialisasi2 tertentu. Sehingga di dalam disiplin ilmu teologi, misalnya, ada banyak sekali spesialisasi2: Old Testament studies, New Testament studies, Systematic Theology, dll dll. Dan bahkan setiap spesialisasi masih juga dibagi menjadi sub-spesialis2 lagi, misal OT studies bagian minor prophet, wisdom literature, dst dst. Semakin sub-spesialisasi2 itu ditinggikan harkatnya, maka semakin dialog antar spesialisasi menjadi disfungsi, jangan lagi antar disiplin. Relasi antar disiplin semakin sulit diketahui. Malah, seakan2 masing2 spesialisasi bisa hidup sendiri2 secara independen mutlak, apalagi antar disiplin. Sehingga yang punya spesialisasi di bidang OT tidak bisa berbicara tentang NT, demikian yang ST tidak bisa bicara ttg pastoral dll dll. Semakin mendalam seseorang di dalam spesialisasinya, semakin orang itu hanya mampu memproduksi karya2 yang sangat terbatas pada spesialisa si dan sub-spesialisasinya. Yang aneh adalah, seorang phd bidang teologi dianggap mengerti segalanya tentang teologi, bahkan walaupun itu bukan spesialisasi atau sub-spesialisasinya. Demikian seorang medical doctor dianggap mengerti semua hal soal kesehatan dan sakit penyakit. Aneh tapi nyata. Pengetahuan para ahli semakin dipersempit, tetapi dianggap memiliki pengetahuan yang sangat luas. Di satu sisi menjadi narasumber, di sisi lain sadar bahwa pengetahuan untuk bagian2 sub-spesialisasi2 lain di luar keahliannya dangkal dibanding dengan sub-spesialisasi yang memang digelutinya.

Aneh tapi nyata, itulah sistem pendidikan formal di seluruh dunia. Mereka2 yang duduk di posisi guru besar, department chair, justru adalah orang2 yang ditraining secara spesifik kepada hal2 yang sangat mendalam dan sempit. Salah satu implikasinya adalah berkaitan dengan jobdes dan topik seminar atau konferensi. Pemilihan tenaga ahli yang akan menangani pekerjaan tertentu dan berbicara tentang suatu hal tertentu bukanlah pekerjaan mudah, apalagi bila sumber daya manusia nya sedikit. Maka problematikanya ada pada ketidakseimbangan jumlah sdm dibanding dengan hal2 yang harus ditangani atau dibicarakan. Problem selanjutnya ada pada ketersediaan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan di lapangan. Ditambah lagi dengan problem cepatnya laju perkembangan kebutuhan di lapangan membuat penyediaan training tidak dapat keep up dengannya. Kira2, jika perkembangan di lapangan sedang bergerak dengan kecepatan 100 km/jam maka laju penyedia an training sedang bergerak pada kecepatan 10 km/jam. Maka pendidikan "seharusnya" mampu membaca arah zaman, laju pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, dan berupaya menyimpulkan training apa2 yang dibutuhkan pada masa depan. Kenyataan bahwa prediksi bukanlah pekerjaan yang mudah, maka lebih baik potong kompas dengan cara mengambil alih kontrol. Pendidikan formal mengatur apa2 yang bakal dibutuhkan di lapangan. Cara ini lebih mudah, dan oleh karena itu proposal Dewey telah digeser dari pendidikan formal menyediakan kebutuhan masyarakat menjadi masyarakat mengakomodasi produksi institusi pendidikan.

Isu kontrol ini berjalan dengan disadari atau tidak di hampir semua institusi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, karena itulah yang berdekatan secara langsung dengan realita pekerjaan di masyarakat. Sekolah tinggi agama atau seminari2 tidaklah terlepas dari model ini. Seminari menyediakan para "hamba"2 Tuhan yang dipercayai untuk memenuhi kebutuhan gereja. Sementara seminari menyiapkan ht2 tersebut, kebutuhan gereja sedang dan telah berubah, maka ketika yang disiapkan lulus dan diutus, mereka kurang mampu memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan gereja. Tetapi karena tidak ada lagi yang lain, maka mau tidak mau jawaban dan pemenuhan kebutuhan menyesuaikan diri dengan ketersediaan ht. Pada akhirnya kebutuhan gereja menjadi disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas suplai produksi dari seminari. Jika pendidikanlah yang seharusnya melayani masyarakat, dan bukan sebaliknya. Dan jika seminarilah yang seharusnya melayani gereja, m aka mungkin salah satu komponen esensial dalam training para ht adalah dengan mempersiapkan mereka untuk memiliki kapasitas adaptif sampai level tertentu di dalam memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan gereja, dan bukannya "memaksa" kebutuhan gereja disesuaikan dengan suplai. Pada kenyataannya kebutuhan itu harus dipenuhi dan bukannya dimodifikasi, tetapi justru tenaga kerja itu yang lebih bisa fleksibel beradaptasi. Apalagi bila berbicara mengenai kehendak Tuhan, janganlah sampai kehendak Tuhan itu yang diadaptasi untuk conform dengan suplai ht. Tetapi justru training ht itu yang harus diadaptasi untuk memenuhi kehendak Tuhan. Seminari di sini hanyalah dipakai sebagai contoh. Pendidikan secara menyeluruh haruslah mengevaluasi kembali model yang sekarang ini dijalankannya baik disadari atau tidak.

No comments: