Friday, June 13, 2008

Pseudo Reality

Salah satu hal yang paling berbahaya di dalam video games adalah peran pseudo reality di dalamnya. Kecanggihan teknologi yang dipakai untuk video game graphics sudah melampaui 128 bit. Walaupun modelnya masih berupa cartoon, tetapi penggunaan warna, gerak, dan environment details sudah mengundang decak kagum. Promosi the Legend of Zelda yang baru untuk Gamecube di E3 expo tahun lalu menunjukkan betapa video game manufacturer berupaya untuk mencapai the next level of realistic graphics. Jika di tahun 2002 cel shaded technology mulai diperkenalkan untuk video games, sekarang eranya sudah bergeser menuju kepada yang lebih realistic. Game terbaru Nintendo gamecube, Resident Evil 4, sudah menunjukkan superioritas graphics yang membawa players seakan berada di pseudo reality itu. Yang lebih mencengangkan adalah usaha untuk melipatgandakan kemampuan graphics sampai pada true realistic look untuk next generation consoles.

Beberapa tahun lalu disebutkan ada ide untuk membuat 3-D movie dan cinema yang mana penonton bukan lagi berada di luar movie yang ditontonnya, tetapi seakan berada di alam movie yang ditonton (virtual reality). Lebih jauh dikatakan bahwa penonton bisa secara bebas memilih ending mereka sendiri. Ide ini diberitakan akan dibuat di Inggris. Tetapi sampai saat ini saya masih belum mendengar lagi kabar tentang ini. Tetapi ide untuk alternate endings baik untuk film dan games sudah dimulai di beberapa film dan games. Di video games misalnya, konseptor Peter Moulineux tahun lalu meluncurkan "Fable" untuk Xbox yang dikatakan memilki open ending storyline. karakter yang dimainkan dapat dijadikan sesuka hati oleh players, dapat menjadi evil atau good atau apapun yang jatuh di tengah2nya. Meskipun banyak gamers yang akhirnya kecewa pada Fable, tetapi kelihatannya Fable ini baru merupakan uji coba. Peter dikabarkan akan membuat sequel Fabel di Xbox 2. Bila konsep 3-D virtual reality dan open ending story line digabungkan maka bukankah pseudo reality yang didapat?

Dikatakan pseudo reality sebab pada kenyataannya in no way it is a reality. Bila kita mengingat trilogi film Matrix, maka mungkin dalam perkembangannya video games dapat menuju ke arah itu. Hanya saja bedanya The Matrix dalam triloginya merupakan kisah tentang survival, sedang arah video games saat ini adalah fun - entertainment. Jika video games dalam perkembangannya makin dibuat menarik untuk, bukan hanya dinikmati oleh mata atau merupakan olah raga sensori motor di tangan atau juga arena melatih pikiran dan acara relaksasi, tetapi bahkan untuk dialami secara total sampai masuk kepada storyline yang ada, maka pseudo reality yang dibentuk oleh video games akan collide dengan reality yang sesungguhnya. Dengan variasi banyaknya games yang ada dan total waktu yang mesti dihabiskan untuk menyelesaikan satu game, maka dengan keterbatasan waktu yang dimiliki, para gamers mau tidak mau harus memilih. Jika pemilihan hanya pada games apa yang hendak dimainkan, console apa yang hendak dimiliki, dst, masih tidak apa2. Yang mengerikan adalah jika harus memilih antara true reality dan pseudo reality.

Di dalam pseudo reality, gamers bisa reset, replay, redo game yang dimainkannya setelah melakukan kesalahan berkali2, bahkan kesalahan fatal yang mengakibatkan karakter yang dimainkannya sampai mati. Di dalam true reality option reset, replay, dan redo tidaklah ada. Jika sekali melakukan kesalahan, apalagi yang fatal, maka selalu ada konsekuensi yang mau tidak mau ditimpakan. Jika mindset gamers sudah terbentuk untuk reset, replay, redo dan hal ini dibawa ke true reality, maka hasilnya memiliki kemungkinan munculnya sikap tidak tanggungjawab dan menganggap enteng pengambilan keputusan - karena bisa di reset, redo, replay. Ini berbahaya. Tetapi di sisi lain, ada keuntungannya. Pada training2 profesi2 tertentu seperti pilot misalnya. Jika trainee melakukan kesalahan di dalam simulasi, maka nyawa penumpang dan nyawa sendiri tidak dikorbankan. Tetapi tentunya mindset yang serius sudah perlu untuk ada sebelum simulasi, wala upun hal inipun tidak dapat dimonitor oleh siapapun. Mau tidak mau ada perbedaan antara memasuki arena simulasi dengan menerbangkan pesawat yang riil. Pseudo reality dapat digunakan untuk arena learning yang tidak membahayakan nyawa. Tetapi perlu dirangkai dengan hati2.

Di dalam pseudo reality meaningful engagement dan meaning making lenyap atau berkurang sangat banyak dibanding dengan true reality. Apakah maknanya dapat menyelesaikan satu game dengan skor yang sangat baik dan memiliki atribut2 yang paling top, juga berhasil memecahkan semua misteri yang ada di dalam gamenya? Value nya paling banyak ada pada fun dan entertainment. Mungkin dapat meningkatkan rasa percaya diri, mungkin bisa melatih cara berpikir komprehensif, mungkin bisa berlatih berpikir logis, mungkin bisa berlatih sensori motor jari tangan, tetapi tetap pertanyaannya ada pada meaning. Bandingkan dengan menyelesaikan suatu task di dunia riil. Apakah artinya berhasil mendapatkan nilai A untuk simulasi menerbangkan pesawat, jika gagal menerbangkan pesawat yang sesungguhnya? Tetapi tentunya simulasi direncanakan dibuat supaya ketika memasuki dunia riil, kesalahan diminimumkan. Tetapi salah satu penggunaan pseudo reality di da lam video games/simulation program adalah kapasitasnya untuk membuat reality yang betul2 detached dengan true reality. Di dalam pseudo reality ini dimungkinkan pengembangan imajinasi yang melampaui semua limitasi manusia dan alam. Gamers dapat mengambil karakter seorang superhero yang mana tidak mungkin ada di dalam reality yang sesungguhnya. Singkatnya, seperti hidup di alam mimpi. Ini bisa berbahaya jika pada akhirnya pseudo reality dianggap sebagai true reality, dan true reality diasimilasi menjadi pseudo reality.

Peran pseudo reality dalam kemajuan teknologi ini bagaikan makan buah simalakama. Seperti juga teknologi chatting via internet. DI satu sisi membuat dunia makin dekat, sehingga yang di Indonesia bisa chat dengan yang di Amerika dengan biaya yang semurah mungkin. DI sisi lain, faktor bodily presence hilang, nonverbal language juga diminishing, community activities menjadi makin terbatas, dll. Efek negatif chatting seakan berbanding sama besar dengan efek positif yang ditawarkan. Demikian juga efek video games bagi pendidikan - khususnya informal. Memang video games dapat dimanfaatkan sebagai learning tool, tetapi educators juag perlu aware atas efek2 negatif yang mengikutinya. Akhirnya semua kembali kepada wisdom dan discernment. Seperti kata Paulus, semua hal boleh, tetapi tidak semua hal berguna. Dan seperti kata pengkhotbah, semua ada waktunya. Maka careful judgment menjadi warning bagi educators yang hen dak menggunakan video games for learning.

No comments: