Friday, June 13, 2008

Meaningless Education?

Akan kemanakah arah dan sistem pendidikan formal Indonesia? Pemerintah kelihatannya masih tetap kukuh dengan konsep sentralisasinya. Seluruh kurikulum diatur dengan ketat dari pusat. Sementara itu banyak sekolah mengharapkan untuk diberikan otonomi dalam mengatur kurikulum masing2. Apakah isunya trust atau control? Bila pemerintah tidak bisa mempercayai institusi2 pendidikan, maka seharusnya produk yang ditawarkan pemerintah harus lebih bermutu daripada apa yang bisa disusun oleh masing2 institusi pendidikan. Adalah aneh bila isunya adalah trust tetapi produk yang dijual pemerintah di bawah standard. Melihat situasi dan kondisinya, maka mungkin isunya adalah kontrol-power. Memang sudah bukan barang baru bila pendidikan formal (termasuk yang non-formal dan informal) dijadikan tempat indoktrinasi ide2 penguasa, yang banyak kali tujuannya adalah kontrol pengetahuan. Seperti misalnya, masih ingat pelajaran pspb? Sal ah satu topik yang masuk dalam buku teks adalah peristiwa g30spki dan kesaktian pancasila. Dipercayai bahwa versi cerita yang tercetak adalah kejadian sejarah. Setelah Suharto lengser, maka ada buku putih ttg g30spki yang muncul, yang versi ceritanya bertolak belakang dari cerita kepahlawanan mayjen suharto. Mana yang benar? Sampai sekarangpun belum ada kejelasan, dan kelihatannya memang tidak ada usaha membuat jelas. Dari sini bisa dikonstruksi suatu versi cerita bahwa demi mengangkat nama, suharto menggunakan versi cerita tertentu yang di"sejarah"kan dan di"waris"kan kepada generasi2 mendatang. Benarkah demikian? Atau yang disampaikan di pelajaran pspb itu adalah cerita sejarah yang sebetul2nya? Mungkin perlu ahli sejarah untuk riset dan mencoba mengklarifikasi kejadian sebenarnya.

Jika isunya memang kontrol, maka ini adalah satu problematika yang besar dan sangat serius untuk diselesaikan di Indonesia. Pendidikan tidak boleh dijadikan kendaraan politik, sebab ujungnya adalah bukan pencerdasan kehidupan bangsa, tetapi justru pembodohan kehidupan bangsa. Pendidikan seharusnya memimpin kepada Truth, sebab "the Truth will set you free." Jika proses pembodohan ini terus berlangsung, entah disadari atau tidak, maka negara Indonesia akan betul2 menjadi negara yang sangat mudah dibodohi oleh politik internasional. Apalagi bila yang memimpin di pemerintahan adalah orang2 yang tidak peduli dan tidak mampu berpikir bijak, malahan hanya memikirkan perut sendiri. Kontrol? Yang mengontrol evil atau naive? Lebih gila lagi bila yang mengontrol evil. Masih mending orang naive. Tetapi yang dibutuhkan bukanlah kedua2nya, yang dibutuhkan adalah yang wise. Dan bila orang yang wise mengontrol, maka di sana ada trust.

Kontrol memang tidak bisa dibuang sembarangan di tong sampah. Kontrol masih diperlukan, sebab dengan demikian ada arah dan tujuan. Tetapi kontrol bukanlah seharusnya dimaksudkan untuk memenuhi agenda pribadi atau kelompok elit tertentu. Kontrol dimaksudkan untuk pemenuhan keutuhan kemanusiaan, yang adalah gambar dan rupa Allah itu. Di dalam kontrol ada trust. Bila tidak ada trust maka kontrol menjadi fatalisme. Ini menjadikan yang dikontrol menjadi barang mati. Bila trust di-negasi, maka yang terjadi adalah disrespect. Dengan disrespect, gambar dan rupa Allah itu dihina. Ini menghina Allah sendiri, yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang punya kapasitas untuk dipercayai dan dihargai.

Ada realita yang sangat menyedihkan mengenai pendidikan di Indonesia maupun mengenai pertempuran umat Kristen. Memang hopeless bila kekristenan sendiri sibuk saling menghantam satu sama lain, ketika terang dan garam nya sangat dibutuhkan di dunia yang makin membusuk. Yang satu mengatakan bahwa garamnya lebih asin, yang satu berargumentasi bahwa garamnya lebih bersih, yang satu lagi demonstrasi bahwa garam harus ada yodiumnya. Sementara itu yang satu pihak berkeras bahwa terangnya mencapai 200 Watt, yang lain mengaku bahwa terangnya asli putih, dan masih yang lain ngotot bahwa terangnya dari surga. Bukan berarti the search for truth terus diabaikan, tetapi seringkali yang diotak-atik adalah hal2 sepele yang dipentingkan, misal metode pembaptisan, frekuensi perjamuan kudus, dll dll. Yang lebih menyedihkan lagi adalah, sesama mengaku Kristen tetapi ketika memberitahu saudara seimannya bukan dengan dasar kasih teta pi dengan superioritas. Tudingan sesatlah, tidak alkitabiahlah, dll melayang ke mana2, bahkan sebelum dialog penuh kasih sempat dijalankan. Jika komunitas Kristen bertingkah sedemikian, maka benarlah yang disampaikan Longdong, mau mengharapkan kekristenan menjadi penggerak untuk pelaksanaan pendidikan yang benar adalah sia2 belaka.

Tetapi saya tidak ingin skeptik, saya tetap melihat pengharapan di dalam Kristus. Ketika waktu Tuhan datang, bahkan orang2 yang ketakutan bisa menjadi sangat berani, seperti peristiwa pada waktu Roh Kudus turun atas rasul2. Atau bahkan kehidupan yang hopeless yang dialami oleh Yusuf di Mesir dirubahkan oleh Tuhan menjadi kehidupan penuh makna yang punya satu tujuan penting, yaitu menyelamatkan satu bangsa (dua ditambah dengan Mesir sendiri). Tuhan dapat mengerjakan hal2 yang jauh di luar pikiran manusia yang sempit. Tetapi saya juga berkeyakinan bahwa umat Tuhan janganlah mencobai Tuhan. Jangan sampai umat Allah berbuat semau sendiri dan berpikir toh Tuhan nanti yang membereskan. Well, that might be true, bahwa Tuhan yang membereskan, tetapi hati2 kalau si pelaku semau gue nanti yang dibereskan oleh Tuhan.

No comments: